Mengurai Politik Dinasti dalam Praktik Demokrasi di Indonesia dari Perspektif Etika Pancasila
Menggali Indonesian Values:
Mengurai Politik Dinasti dalam Praktik Demokrasi di Indonesia dari Perspektif Etika Pancasila
Dr. Hani Subagio1 Yongky Gigih Prasisko2 1,2 Pusat Studi Pancasila dan Bela Negara UPN Veteran Yogyakarta
Email: hanisubagio@upnyk.ac.id yongky.gp@gmail.com
Abstrak
Politik dinasti sulit mendapatkan konsekuensi hukum dan bahkan dianggap benar karena sesuai dengan prosedur dalam sistem demokrasi. Namun dalam penyelenggaraan negara, ada etika publik yang kerap kali dikesampingkan. Pelanggaran terhadap etika publik menimbulkan akibat seperti konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan dan perdagangan pengaruh (trading in influence). Namun pelanggaran etika sering kali ditoleransi sejauh tidak melanggar hukum. Padahal etika posisinya berada di atas hukum yang memuat nilai, prinsip, asas dan norma. Makalah ini membahas perihal politik dinasti dalam praktik demokrasi Indonesia hari ini yang ditinjau dari kacamata filsafat moral, khususnya etika Pancasila. Persoalan yang dibahas seperti kasus Pilpres 2024, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara nomor 90 sampai dengan revisi UU Pilkada. Dalam hal ini, politik dinasti mengandalkan hak politik, HAM, bahkan Asian value sebagai justifikasi. Analisis persoalan politik dinasti dari perspektif etika Pancasila dalam artikel ini akan berupaya merumuskan Indonesian value yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila. Kata kunci: etika publik, filsafat moral, demokrasi, Indonesian value, Pancasila
Pendahuluan
Politik dinasti menjadi isu yang muncul dalam praktik demokrasi di Indonesia. Di pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan pemilihan presiden (Pilpres), para calon berasal dari keluarga tertentu yang berupaya melanggengkan kekuasaannya dengan mengusung anggota keluarganya. Politik dinasti merupakan strategi politik untuk mendapatkan atau melanggengkan kekuasaan yang dijalankan oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya (Nurmansyah, 2016). Di Indonesia, politik dinasti cenderung tidak sehat karna anggota keluarga seperti anak/istri/menantu/adik/ipar memperoleh kekuasaan tnpa jerih payah, hanya karena memiliki hubungan darah dan perkawinan. Strategi politik dinasti dijalankan secara halus dengan menjadikan dulu anggota keluarga sebagai pengurus ormas, anggota parpol, dan anggota DPRD/DPR sebelum diusung jadi calon kepala daerah. Tercatat, jumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terindikasi politik dinasti semakin meningkat terutama setelah era Reformasi. Di tahun 2014, ada 60 orang, tahun 2018 naik menjadi 117 dan pada tahun 2020 semakin banyak menjadi 175 orang (Djohan, 2023, i-OTDA, 2021). Upaya membangun dinasti dalam politik sebenarnya sudah berupaya untuk dicegah. Presiden Jokowi meneken Undang-undang (Pilkada) Nomor 8 Tahun 2015. Dalam UU tersebut, Pasal 7 huruf r melarang konflik kepentingan dengan petahana sebagai syarat calon kepala dan wakil kepala daerah. Dalam penjelasannya, tidak memiliki konflik kepentingan berarti tidak punya hubungan daerah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yakni ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan. Aturan ini mempersempit strategi politik dinasti dari petahana dan keluarganya dalam proses Pilkada demi menjadikan kontestasi yang lebih adil (fair) demi menghalau konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.. Namun keluarga kepala daerah menggugat aturan ini. Adnan P. Ichsan yang merupakan anak Bupati Gowa kala itu, Ichsan Yasin Limpo, mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi dan gugatannya dikabulkan. Melalui putusan No 33/PUU-XIII/2015, MK menyatakan pasal Pasal 7 huruf r dan penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945, bertentangan dengan jiwa dan semangat di Pasal 27 dan 28 UUD 1945 yakni hak persamaan di muka hukum dan pemerintahan yang tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif. Maka dari itu, Pasal 7 huru r dinilai inkonstutisional (KPU, 2015). Alhasil Adnan berhasil maju dan menang di Pilkadaa 2015 menjadi Bupati Gowa menggantikan ayahnya. Sebelumnya, Adanan menjadi Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, 2009-2013, dan 2014 – 2015. Dari rangkaian dinamika tersebut, secara prosedur politik dan demokrasi, politik dinasti tidak dilarang secara hukum namun sebenarnya memiliki problem etik. Isu politik dinasti kembali mengemuka di Pilpres 2024. Kala itu, putra sulung Presiden Jokowi, Gibran digadanggadang akan maju menjadi calon wakil presiden tetapi terkendala syarat usia minimal 40 tahun, sedangkan Gibran masih berusia 36 tahun. Seorang mahasiswa Universitas Surakarta (UNSA), Almas Tsaqibbirru Re A, kemudian menggugat UU Nomor 7 Tahun 2017 kepada MK untuk dilakukan uji materi terutama terkait batas usia capres-cawapres. Sidang uji materi lalu diketok palu oleh Ketua MK, Anwar Usman, yang notabene adalah paman Gibran, dan memutuskan mengabulkan sebagian gugatan dalam perkara 90 tersebut. Melalui putusan 102/PUU-XXI/2023, MK mengubah klausul syarat usia menjadi paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Alhasil, Gibran yang kala itu menjadi Wali Kota Solo langsung memenuhi syarat dan melenggang menjadi wapres terpilih di Pilpres 2024. Namun sayangnya, putusan ini menyisakan problem etik. Para hakim sidang tersebut, termasuk Ketua MK, Anwar Usman dilaporkan atas dugaan konflik kepentingan dan pelanggaran etik. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kemudian memeriksa putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023 tersebut. Hasil penyelidikan MKMK menyatakan bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Akibatnya, Anwar Usman dikenai sanksi dicopot dari jabatannya sebagai ketua MK. Kasus ini membuktikan bahwa persoalan politik dinasti memiliki masalah etik yang serius, terutama soal benturan/konflik kepentingan.
Teori dan Metodologi
Dalam praktik politik dan demokrasi, masalah etik terjadi karena etika publik kurang diinternalisasi dan diterapkan oleh para penyelenggara negara. Sering kali segala tindakan dianggap benar bila tidak melanggar hukum. Padahal bisa jadi tindakan yang dilakukan mengandung konflik kepentingan yang secara langsung melanggar etik. Politik dinasti menciptakan persoalan etika publik yang mendasar, terutama dalam kaitannya dengan norma perilaku dan kebijakan yang seharusnya semestinya dipegang teguh dalam urusan pelayanan publik dan penyelenggaraan negara. Haryatmoko (2011) menyebutkan bahwa etika publik merupakan refleksi norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perihal perilaku dan keputusan sebagai tanggung jawab dalam menjalankan pelayanan publik. Tak hanya norma, etika publik turut berupaya membangun sistem yang memungkinkan etika publik bisa diimplementasikan dengan baik untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan, perdagangan pengaruh, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Etika publik yang menjadi bagian dari etika politik memiliki tiga dimensi yakni modalitas, tindakan dan tujuan. Modalitas meliputi prinsip akuntabilitas, transparansi dan netralitas yang mewujud menjadi sebuah tindakan yang berintegritas demi mencapai tujuan pelayanan publik yang berkualitas dan relevan. Laiknya etika politik, etika publik berupaya memperjuangkan kepentingan publik demi memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang lebih adil. Dalam pengertian ini, etika publik tidak mentoleransi strategi politik demi kepentingan pribadi, keluarga maupun golongan seperti dalam isu politik dinasti. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif yang meliputi serangkaian aktivitas peneliti sebagai pengamat. Ia terdiri dari seperangkat praktik interpretasi dan material untuk mengungkap dan menafsir makna sebuah fenomena, teks atau pengalaman manusia. Praktik ini mentransformasikan dunia menjadi serangkaian representasi dari suatu lingkungan, berupaya untuk menggali makna dari orang-orang di sekelilingnya (Denzin dan Lincoln, 2005:3). Tafisir atau interpretasi merupakan metode dalam menggali makna yang meliputi kerangka kerja dan praktik dalam ilmu sosial untuk mendalami suatu realitas sosial. Ia merupakan seperangkat paradigma yang melekat dalam kerangka teori sosial-humaniora. Dengan interpretasi, maka diungkap, ditemukan dan dialami dengan data-data deskripsi dan detail serta logis. Hans-Georg Gadamer mengistilahkannya sebagai hermeneutika yakni kajian interpretasi yang mengnggap eksistensi dan praktik manusia itu saling terkait erat. Hermeneutika berupaya mendapatkan makna dari interaksi antara latar belakang peneliti dengan subjek aktif perihal pengalaman maupun sebuah fenomena, Proses interpretasi dimulai dari asumsi peneliti tentang sebuah fenomena, kehidupan, pengalaman dan orang./komunitas Peneliti memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi berbagai perspektif, teori atau paradigma untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang konteks makna atau menempatkan maka dalam kerangka atau konteks yang lebih besar (Given, 2008:458-459). Riset ini berupaya untuk menafsirkan sebuah fenomena politik dinasti dengan perspektif nilai-nilai Pancasila, filsafat moral atau etika.
Hasil dan Pembahasan
Norma etika publik yang relevan dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia bisa diambil dari nilai-nilai Pancasila atau bisa disebut sebagai etika Pancasila. Dalam perannya sebagai etika, Pancasila menjadi landasan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Krisis moral dan masalah kemunduran etika dalam kehidupan berbangsa menuntut pentingnya penerapan etika Pancasila baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Namun penerapan etika Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia nyatanya menemui sejumlah tantangan. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, sudah mengamanatkan kepada Presiden, lembaga negara dan masyarakat untuk menegakkan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam ketetapan tersebut, ada beberapa pokok-pokok etika seperti etika sosial-budaya, politik dan pemerintahan, ekonomi dan bisnis, penegakan hukum yang berkeadilan, keilmuan dan lingkungan. Namun dalam praktiknya, masih terjadi berbagai pelanggaran etik dalam kehidupan masyarakat dan pemerintah. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara semakin luntur bila praktik pelanggaran etik, konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan serta KKN terus berlangsung. Ini karena norma ini belum mewujud dalam infrastruktur etik dan peraturan perundang-undangan. Maka inisiatif RUU tentang Etika Penyelenggara Negara mulai diajukan dan masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2014 namun hingga kini masih belum selesai dibahas oleh DPR. Demi membangun infrastruktur etik, mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, mengusulkan ide pembentukan Mahkamah Etika Nasional yang berperan sebagai lembaga peradilan etik demi menjaga integritas pejabat publik dan penyelenggara negara terutama semakin gencarnya isu soal politik dinasti yang masih banyak yang lolos dari sanksi etik. Jimly menilai bahwa ada masalah (etik) yang serius di berbagai sektor dari polisi, partai politik, dunia kesehatan hingga organisasi profesi yang menjadi momentum tepat untuk membentuk Mahkamah Etika Nasional (BPIP, 2024). Namun Mahkamah Etika Nasional masih menjadi sebuah ide yang berupaya menyambut rekomendasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk membentuk infrastruktur etika dalam jabatan-jabatan publik.(ethics infra-structures in public offices) (Asshiddiqie, 2015:102). Dalam soal ini, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) berkomitmen untuk menindaklanjuti ide Mahkamah Etika Nasional sampai melahirkan RUU. Dalam proses pembentukan infrastruktur etika dan pengesahan UU tentang Etika Penyelenggara Negara, beberapa konsep tentang etika Pancasila ini bisa digunakan untuk memperdalam dan menguatkan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa. Dalam hal ini, Pancasila tidak hanya menjadi sumber aturan hukum tetapi juga menjadi sumber tata etika (rule of ethics) bangsa.
1. Sila Pertama sebagai Sumber Etika Keutamaaan
Dalam karya Nichomachean Ethic, Aristoteles mengatakan kebaikan adalah aktivitas jiwa yang sesuai dengan keutamaan agar manusia menjadi pribadi yang utama. Keutamaan terdiri dari keberanian, kontrol diri, kemurahan dan kejujuran. Keutamaan merupakan penyaluran watak seseorang yang membuatnya berperilaku yang baik secara moral. Pemikiran Aristoteles ini menjadi dasar dari konsep etika keutamaan (Gufron, 2016). Dalam Pancasila, etika keutamaan bisa digali dari pada nilai ketuhanan, ajaran agama dan keyakinan seperti tercantum dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap ajaran agama di Indonesia memiliki konsep pribadi yang utama yang menjadi acuan dan tujuan bagi para penganut agama dan keyakinannya. Misalnya, ada konsep pribadi mulia yang bertakwa, penuh cinta kasih, cinta kebenaran dan dharma. Sebagai bangsa yang berke-Tuhan-an, sumber etika keutamaan bisa digali dari nilainilai moral dari ajaran agama dan keyakinan di Indonesia.
2. Sila Kedua sebagai Etika Kepedulian
Etika kepedulian menekankan pada komitmen untuk merawat, melindungi, membantu bahkan menyembuhkan bagi sesama manusia. Selain itu, etika kepedulian turut berupaya menciptakan lingkungan sosial yang adil. Etika kepeduliaan menjadi dasar dari pembangunan kemanusiaan (humanisme) yang setara tanpa menghilangkan empati. Ada lima sikap moral kepedulian yakni pertemuan kepedulian dengan memproyeksikan kesadaran moral kepada mereka yang rentan atau menderita. Yang kedua, pemahaman simpatik yakni kemampuan memahami kondisi, mengidentifikasi diri dengan mereka yang lemah dan menyadari perlakuan terbaik bagi mereka sesuai perspektif dan kebutuhan mereka. Ketiga, kesadaran akan hubungan yakni relasi khusus subjek moral yang mendesak untuk perlakuan manusiawi dan perjuangan bagi mereka yang menderita untuk keluar dari penderitaannya. Keempat, akomodasi yang berarti mengakomodasi kebutuhan kelompok rentan untuk dengan komitmen membantu sesuai dengan kemampuan. Kelima, respons yakni setelah memproyeksikan kesadaran moral maka perlu adanya tindakan konkret untuk menolong mereka yang kesusahan (Jena, 2014). Etika kepedulian bisa menjadi pokok kemanusiaan yang dibangun di Indonesia yang saling membantu, gotong royong demi kebaikan bersama. Etika kepedulian juga sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat komunal.
3. Sila Ketiga sebagai Sumber Etika Politik
Haryatmoko (2011) menjelaskan etika politik merupakan usaha hidup baik, mengusahakan kesejahteraan umum, memperjuangkan kepentingan publik serta bersama-sama membangun institusi yang lebih adil dan memperluas kebebasan. Tujuan ini turut dilakukan dengan membangun infrastuktur etik. Etika politik di Indonesia turut memiliki tujuan memajukan kesejateraan umum, melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan keadilan sosial, perdamaian dan kemerdekaan sesuai yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Rumusan tujuan politik ini turut mengandung nilai nasionalisme yang bersumber dari sila ke 3 Persatuan Indonesia. Dalam pengertian ini, nasionalisme turut menjadi landasan etika berpolitik dalam konteks Indonesia demi menghalau politik pecah belah bangsa, separatisme, serta isu politik suku agama dan ras (SARA).Etika politik berlandaskan nasionalisme turut menekankan bahwa praktik politik dan demokrasi harus dilakukan untuk tujuan dan kepentingan nasional, bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun golongan tertentu.
4. Sila Keempat sebagai Sumber Etika Publik
Indonesia sejak awal didirikan menganut sistem republik dan demokrasi semestinya ditopang dan dijalankan dengan etika publik. Dalam sistem demokrasi, etika publik memberikan norma kepada para penyelenggara negara untuk melakukan pelayanan publik berlandaskan akuntabilitas, transparansi, integritas, dan netralitas. Dalam pengertian ini, penyelenggara negara termasuk pejabat politik dan publik harus memiliki kesadaran sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa yang menindas. Yang juga menjadi masalah serius dalam etika publik adalah konflik kepentingan yang turut menjadi isu dalam politik dinasti. Benturan kepentingan merupakan konflik tanggung jawab publik dan pribadi/kelompok yang menjurus pada pengalahgunaan kekuasaan demi kepentingan diri sendiri, keluarga, perusahaan, partai politik, ikatan alumni, maupun almamater. Demi menerapkan etika publik, ada empat keterampilan etika yang perlu dibangun yakni tingkat penalaran atau kesadaran moral yang menjadi landasan pengambilan keputusan etis. Kedua, kemampuan memahami etika untuk memecahkan masalah, mengatasi konflik dan mencari resolusi. Keiga, kemampuan untuk menolak berbagai hal, tindakan atau perilaku yang bertentangan dengan etika. Kelima, kemampuan untuk menerapkan norma, nilai dan teori-teori etika (Haryatmoko, 2011).
5. Sila Kelima sebagai Sumber Keadilan Moral
Pancasila menuntut adanya perlakuan yang adil dan setara bagi setiap warga negara terutama soal ekonomi. Merujuk filsuf Plato, keadilan bermakna kebajikan tertinggi dari negara yang baik. Dalam sebuah negara, penguasa membagi-bagi fungsi atau kinerja kepada orangorang sesuai dengan asas keserasian dan kemampuan atau keahlian sesuai bidangnya (Nasution, 2014). Dalam keadilan moral, tindakan adil akan memberikan perlakukan yang seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya. Bersumber dari sila kelima tentang keadilan sosial, keadilan ini secara spesifik merujuk pada ekonomi yang bertujuan menghapus ketimpangan sosial dalam masyarakat. Untuk mencapainya, Mubyarto (1987) menekankan pentingnya koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional yang disusun berdasarkan usaha bersama, bukan dengan pembagian kelas modal dan pekerja ala sistem kapitalisme. Selain itu, pengelolaan ekonomi harus pula berlandaskan pada etika lingkungan yang menekankan ada hubungan moral antara manusia dengan alam yang mengubah cara pandang antroposentrisme yang mengandaikan manusia sebagai pusat dari sistem alam. Sony Keraf (2010:74) menyebutkan ada beberapa kewajiban moral manusia dalam etika lingkungan yakni kewajiban mengelola alam dengan tidak merusak fungsi-fungsi alamiah. Kemudian, manusia wajib setia untuk melestarikan, menjaga dan membiarkan makhluk hidup hidup di alam bebas sesuai habitatnya. Lalu, manusia juga punya kewajiban restitutif yakni memulihkan kembali alam karena kesalahan atau tindakan yang merusak dan mengeksploitasi alam.
Referensi
Asshiddiqie, J. (2015). Dasar Konstitusional Peradilan Etik. Jurnal ETIKA & PEMILU Edisi 1, Mei 2015.
BPIP. (2024). Pembentukan Mahkamah Etika Nasional Dinilai Jadi Solusi Jawab Persoalan Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara. https://bpip.go.id/berita/pembentukanmahkamah-etika-nasional-dinilai-jadi-solusi-jawab-persoalan-kerapuhan-etikapenyelenggara-negara
Denzin, N.K., dan Lincoln, Y.S. (2005). The Sage Handbook of Qualitative Research (Third Edition). London: SAGE Publication.
Djohan, D. (2023). Menjamin Netralitas Presien. Opini Kompas 17 November 2023.
Given, L.M. (2008). The Sage Encyclopedia of Qualitative Research Methods Volume 1 & 2. London: Sage Publication.
Gufron, I. A. (2016). Menjadi Manusia Baik dalam Perspektif Etika Keutamaan. Jurnal YAQZHAN Volume 2, Nomor 1, Juni 2016.
Haryatmoko. (2011). Etika Publik: Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Jena, Y. (2014). Etika Kepedulian: Welas Asih dalam Tindakan Moral. Jurnal KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 1, June 2014
Keraf, S. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
KPU. (2015). Politik Dinasti Versus Hak Politik. https://www.kpu.go.id/berita/baca/4030/Salahsatu-polemik-dalam-UU-Pilkada--UU-8-2015--adalah-ketentuan-Pasal-7-huruf-r
Mubyarto. (1987). Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES.
Nasution, B. J. (2014). Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan dari Pemikiran Klasik Sampai Pemikiran Modern. Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014.
Nurmansyah, Y. (2016). Kekuasaan Dinasti Politik. Bawaslu,go.id..